26 Juli 2020 lalu anaku berumur 3 tahun. Kami memberinya nama Lautan Biru. Sebuah nama yang sejujurnya kurang di apresiasi oleh orangtuaku, mertuaku hingga orang orang disekelilingku. Namun aku dan suamiku tetap keukuh memberi nama anak lelaki kedua kami dengan nama Lautan Biru.
Kenapa nama anakku Lautan Biru?
Apakah kami sebagai orang tua tidak memiliki rencana yang jelas terhadap keturunan kami, sehingga memberikan nama sembarangan kepadanya?
Tentu saja nama seorang manusia perkara serius, nama adalah doa, nama menjadi identitas melekat seumur hidupnya, nama sering menjadi alur jalan hidup manusia, nama menjadi cita cita mulia orang tuanya.
Lautan biru, tidak memiliki makna tersirat.
Ia bermakna jelas tanpa makna ganda. Sebagai mana kau melihat Lautan Biru luas di hampar Tuhan dihadapanmu, lalu ada rasa nyaman, rasa tenang yang indah kau rasakan. Sesederhana itu memaknai nama anak kami.
Bagimu yang suka traveling, lalu menemukan pemandangan keindahan pasir putih dan lautan biru yang luas, kau akan tau alasan kenapa nama anak kami Lautan Biru. Sebagaimana nama anak lelaki pertama kami Langit Rinjani, ia bermakna jelas tanpa pesan tersirat. Kau yang pernah mengunjungi ketinggian Gunung Rinjani lalu melihat rupa langit di atasnya tidak akan pernah menanyakan kenapa nama anak kami Langit Rinjani.
Jika ada kawan kami masih menanyakan kenapa nama anak kami Langit Rinjani maka dengan santai kami menjawab, sebaiknya pergilah mendakilah Rinjani maka kau akan menemukan sendiri jawabannya.
Lautan biru lahir melalui proses operasi secar. Setelah 2 malam aku menginap di RS Kota Mataram, dan tidak ada tanda tanda kemajuan untuk proses lahiran normal. Aku mengalah pada keputusan dokter spesialis kandungan yang hasus membelah horizontal perutku untuk mengeluarkan anak yang menurut 4 x hasil USG akan berkelamin Laki-laki.
Dan sesuai prediksi mesin USG anak kedua ku Lelaki. Ia lebih gemuk daripada kakaknya saat lahir, beratnya hampir 3,5 kg dibadingkan kakak Langitnya yang saat lahir berbobot 2,8 kg.
Alhamdulillah, walaupun sakit yang ditimbulkan pasca operasi sangat menyiksa tapi aku bersyukur melihat senyum pulasnya saat tidur dalam pelukanku.
Lautan biru tumbuh menjadi anak yang yang lucu dan tambun. Pipinya gembul sebagaimana dulu kakaknya. Ia ku berikan ASI Ekslusif sebagai kakaknya, saat telah 6 Bulan berlalu MP ASI yang ku berikan dilahapnya dengan sangat cepat. Anak kedua ku sungguh membuat kami semakin bahagia setiap hari.
Setiap hari kami tentu saja banyak mengabiskan waktu dengan Gadget, bermedia social, menonton Youtube hingga menonton acara di Televisi.
Lautan biru tampak tertarik dengan TV yang ditonton kakaknya. Kartun dan lagu anak anak biasa kami hidupkan di tv di tonton oleh kakaknya dan ternyata di sukai Lautan Biru.
Kami pikir itu tidak masalah, toh acara yang di tonton anak anak kami film animasi dan lagu lagu anak yang bernuansa edukatif untuk anak kami, khususnya Langit Rinjanni yang sudah 3 tahun.
Sesekali Langit rinjani meminjam hp kami untuk menonton youtube, kami mengizinkannya. Setiap kakak Langit Rinjani menonton Youtube adiknya Lautan biru yang saat itu belum genap berumur setahun ikut menyimak. Sesekali lisannya berkata, bahasa bayi yang belum kami pahami maksudnya. Alhamdulillah itu berarti Adik Lautan Biru tumbuh sesuai jalurnya, apalagi saat umur 10 bulan ia sudah bisa berdiri dan belajar berjalan.
Hari ke hari aku makin sayang dan gemas pada si kecil Lautan Biru. Wajah tentramnya, mata beningnya, pipi gembulnya, tingkah lakunya, semuanya. Terpujilah Alloh yang telah menitipkan rasa cinta dan kasih seorang Ibu pada anak anaknya.
Hidupku terasa sempurna, apalagi rezeki dunia Alloh cukupkan dengan diangkatnya aku menjadi PNS Kebidanan beberapa bulan setelah adik Biru lahir.
Hingga ujian itu tiba.
Entah karena apa, aku gemas sekali dengan Adik Biru, ku cium pipinya, ku kitik kitik perut gendutnya, ku geli geli kakinya. Anakku merespon geli, ia tidak suka di perlakukan seperti itu, tapi aku terus melakukannya karena lucu melihat tingkah lakunya, hingga tiba-tiba ia menangis sangat kencang sampai kehilangan suara.
Ia anakku Lautan Biru menangis panjang, hingga pingsan, kehilangan suara tangisnya, kehilangan beberapa saat nafasnya. Aku kaget, ku tiup mulut mungilnya, ku tepuk punggungnya tapi ia belum sadar, aku berteriak histeris, menangis, ketakutan, aku takut kehilangan anakku.
Saat ini bumi seolah olah berhenti berputar, waku berhenti dan aku terjebak dalam penderitaan karena berfikir anakku hilang.
Beberapa detik kemudian Adik Biru kembali bernapas, tangisnya kembali terdengar, ia telah sadarkan diri.
Terimakasih Yaa Robb
Segera ku gendong anakku, dengan tangisan ku telpon suamiku yang masih di kantor. Ku ceritakan kejadian yang tadi ku saksikan di depan mataku. Suamiku terdengar tenang karena ia tidak menyaksikan apa yang aku lihat.
Kejadian mengerikan itu terulang kembali, kali ini suamiku menyaksikannya. Anakku kehilangan nafasnya saat menangis, ia kejang, pingsan. Pemicunya kami mematikan TV yang sedang tonton, ia marah dan menangis panjang hingga kehilangan suaranya dan kehilangan kesadaranya seperti sebelumnya. Tau pemicu tangisnya adalah TV, kami akhirnya kami selalu waspada dan berusaha agar ia tidak menangis. Semua kemauannya kami turuti, semua keinginanya kami setujui. TV dan Gadget kami berikan leluasa padanya, daripada ia menangis, daripada ia kejang, daripada ia pingsan.
5 Agustus 2018, saat Gempa 7 scala richer menghancurkan Lombok, anak kami dalam masa masa dimana ia sering kejang. Lambat laun ia mulai kehilangan suaranya, tangisnya tanpa bunyi, ia tidak pernah lagi mengeluarkan bunyi dari lisan yang menunjukan ia bisa berbicara.
Atas saran dokter, adik Biru sebaiknya di cek bagian kepalanya, untuk memastikan diagnosanya apa. September kami terbang ke Surabaya. RS Siloam memberikan hasil scan kepala anak kami, normal dan baik baik saja. Alhamdulillah.
Tes telinga secara medis memang belum kami lakukan tapi kami lihat, pendengaran anak kami baik baik saja, setidaknya ia dapat membedakan suara Adzan dari magrib dan suara musik dari HP. Saat adzan dari masjid, adik Biru excited, jika adzan sudah selesi ia menangis dan minta di ulang. Adik Biru dapat membedakan lagu di hp, jika suara mp3 di Mobil tidak di sukainya, ia meminta kami mengatinya dengan menarik narik tangan kami meminta mengganti lagu di kendaraan.
Lalu kami mendapat rekomendasi agar anak kami terapi Bicara di salah satu RS Swasta di Kota Mataram. Aku pikir itu ikhtiar yang bagus. Apalagi dokter yang menangani cukup kompeten, dan memberikan motivasi kepada kami, agar kami optimis, agar kami bersyukur, bahwa Adik Biru tidak sendirian, banyak ternyata anak anak yang diberikan keajaiban seperti anak kami yang juga menjalani terapi. Di lingkungan RS aku bertemu dengan banyak orang tua yang bernasib sama, dari mereka aku semakin kuat, sharing dan cerita dari mereka tentang kemajuan kesehatan anak mereka membuatku semakin optimis bahwa anakku Lautan Biru baik baik saja.
Diagnose awal dokter memperkirakan anak kami Hyper aktif dan ADHD. Ya memang adik Biru sangat aktif, tidak bisa diam, lari kesana kemari tanpa cape, Ia kurang focus dan sulit untuk kontak mata dengan kami. Ia selalu mencoba mengalihkan pandanganya saat kami minta adik Biru melihat ke arah kami saat kami bicara dengannya.
Dari goggling kami juga memiliki rasa optimis dengan kondisi Lautan Biru. He is special, dan kami sangat percaya Ia akan tumbuh menjadi anak yang luar biasa kelak. Ia akan bisa bicara pada masa yang tepat menurut Alloh.
Saat ini gadget telah kami jauhkan darinya, TV tidak pernah kami hidupkan hampir 2 tahun lamanya. Sejak Januari kami rutin mengajak Adik Biru terapi Bicara (walaupun jeda saat Maret hingga kini karena Pandemi Covid-19).
Awalnya berat sekali menyadari bahwa anak kedua kami terlambat bicara, namun kini rasa ikhlas, rasa penerimaan dan optimis kepada Allah lebih kami rasakan. Ikhtiar penobatan telah kami jalani, pengobatan Rukyah secara syariah juga pernah kami usahakan, dan membangun rasa kepercayaan diri dilingkungan tetap kami tanamkan.
Anak kami mungkin terlambat berbicara, ia terlambat Start, tapi kami sangat percaya ia akan mengejar bahkan lebih didepan dibandingkan anak anak lainnya.
Kami harusnya bersyukur.
Di sekitar kami ada banyak orang tua yang harus kehilangan anak saat seusia anak kami, ada yang karena sakit jatung, kelainan fungsi organ saat lahir, namun mereka tetap mengucap syukur. Tidak ada tempat untuk mengeluh dan merasa minder karena anak kami terlambat bicara. Kami di percayakan amanah anak yang special dan ia akan tumbuh menjadi manusia yang special. Kami sangat yakin itu, aku dan suamiku.
Lihat saja nanti.
Di bumi seribu masji
Akhir tahun 1441 Hijriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar